Perjalanan spiritual anda akan lebih lengkap jika melaksanakan perjalanan Tirta Yatra ke India. Informasi lebih lanjut hub: Gede Wahyudi 0361 8006188 Adapun rincian atau tahapan perjalanan Tirta Yatra ke India sbb:

Pages

Monday 31 May 2010

Perjalanan Suci Dang Hyang Dwijendra

PADA zaman dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk melakukan swadharma-nya sebagai orang suci. Salah satu swadharrna pandita adalah melakukan perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahari upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani jul diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta.

Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Bud hi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tm artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsur-unsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka.

Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa. Mereka yang dinyatakan sebagai pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra 1.6 yang seperti kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi pandita seyogianya melalui proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang ketat.

Pendidikan dan latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang bersifat tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang dinyatakan dalam Nitisastra 1.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana pandita dikenakan.

Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 40 akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi panthta tersebut adalah Sang Satyawadi artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta artinya beliau yang dapat dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya beliau yang dijadikan tempat mohon penyucian din oleh umat dan sang Panadahan Upadesa.

Nampaknya Danghyang Dwijendra Sebagai pandita telah mengamalkan petunjuk-petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahamanku di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif. Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia jul dengan baik dan benar. Dna ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.

Demikianlah per)alanan suci Danghyang Dwijendra di Bali mendatangi umat dan memberikan kesejukan pada umat. Saat beliau datang di daerah Kuta Selatan untuk niengakhiri keberadaan beiau di dunia sekala menuju dunia niskala beliau sempat datang ke Desa Kutuh di Kuta Selatan di suatu bukit dekat pantai selatan Bali. Di tempat itu beliau menjadi sang Patirthan artinya beliau memberi prayascita atau penyucian pada umat yang datang memohon penyucian diri pada sang Pandita. Di samping itu beliau juga melakukan pena4ahan Upadesa, artinya memberi pendidikan kerokhanian kepada umat.

Karena kesaktian beliau itu tangkai payung yang beliau tancapkan di tanah perbukitan yang kering itu dapat menimbulkan sumur dengan air yang tiada pernah kering sampai saat ini. Di tempat inilah umat mendirikan pura yang kini disebut Pura Gunung Payung. Itu artinya di pura un atas kedatangan Danghyang Dwijendra terdapat vibrasi kesucian yang wajib dipelihara oleh generasi selanjutnya. Danghyang Dwijendra thyakini mencapai dunia niskala dengan moksha di Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu yang tidak jauh dan Pura Gunung Payung. Pura Luhur Uluwatu adalah satu dan Pura Kahyangan Jagat sebagai pemujaan Tuhan dalam manivestasinya sebagai Dewa Rudra. Pura Luhur Uluwatu didirikan atas anjuran Mpu Kuturan pada abad ke-II Masehi. Pendirian Pura Luhur Uluwatu dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.

Pura Luhur Uluwatu mi memiliki banyak pura prasanak atau pura jajar kemiri. Tm artinya di areal perbukitan Kuta Selatan ini sejak zaman dahulu sudah terpatri vibrasi kesucian yang dipelihara dengan adanya banyak Pura Prasanak dari Pura Luhur Uluwatu. Di antaranya adalah Pura Gunung Payung jul. Karena itu sebagai generasi penerus seyogianya dalam menata kawasan di areal Pura Luhur Uluwatu termasuk di areal Pura Gunung Payung seyogianya memperhatikan nilai-nilai spiritual yang sudah terbukti memberikan vibrasi kesucian pada areal tersebut bersinergi dengan areal suci lainnya di seluruh Bali

Untuk memelihara vibrasi kesucian dikawasan bukit Kuta Selatan ini semua pihak hendaknya bertimbang cermat dan seimbang dengan konsep Tri Semaya. Konsep Tri Semaya itu adalah Atita, Nagata dan Wartamana. Apapun yang dilakukan saat ini (Wartamana) hendaknya terlebih dahulu menelaah dengan cermat di masa lalu (Atita) dan dengan berpikir panjang apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang.

Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja nilai-nilai luhur di masa lalu yang susah payah dikerjakan oleh para pendahulu kita. Demikian juga hendaknya kita berusaha melihat ke depan agar jangan sampai kita meninggalkan persoalan-persoalan yang membuat generasi mendatang penuh beban derita karena kesalahan kita saat ini.

Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup Sejahtera dengan berkelanjutan dan generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa.

I Ketut Gobyah. Sumber : Balipost, dikutip dari www.parisada.org

Manfaat Tirta Yatra

Diantara anda tentu banyak yang suka tamasya, melihat-lihat ke-indahan alam. Orang akan mengalami perasaan berbeda manakala mereka sampai pada tempat tujuan wisata, apalagi jika tempat ini baru pertama kali di datangi. Sejenak mereka akan dapat melupakan segala masalah yang menekan dan menumpuk dalam otaknya. Namun selang beberapa hari, atau beberapa jam saja, mereka sudah kembali kedalam kondisi semula.

Pernahkah orang mengamati kejadian ini? Kebanyakan orang tak pernah memperhatikan. Mereka terbenam dalam masalah-masalah yang semakin banyak dan rumit yang diciptakan sendiri untuk dirinya. Dari kejenuhannya, mereka mencoba melarikan diri, salah satunya dengan tamasya (tirtayatra). Namun hal ini tidak memberi banyak manfaat.
Ada satu paket tour yang murah, yang tidak merupakan pelarian diri. Orang tak perlu memakai kendaraan bermotor, sehingga dapat menghemat uang bensin, juga mengurangi polusi udara yang saat ini telah sangat mengganggu kesehatan manusia. Namun tour ini membutuhkan keberanian, kemauan yang kuat dan kesungguhan hati. Apakah orang memiliki keberanian, niat dan semangat yang besar? Jika tidak, merekapun tidak mungkin dapat mengikuti tour ini.
Didalam tour ini orang akan bertemu dengan hal-hal yang luar biasa, sangat menakjubkan. Orang akan memasuki daerah-daerah liar yang belum pernah dijelajahi oleh manusia. Barangkali mereka akan bertemu monster-monster, mahluk-mahluk yang mengerikan, karena itu mereka mutlak harus memiliki nyali, tekad, semangat dan kemauan yang kuat.
Untuk ikut dalam tour ini orangpun harus memiliki tiket. Tiketnya dapat diambil masing-masing dalam dirinya sendiri yaitu niat. Jika orang telah memiliki niat yaitu kemauan yang tulus dan jujur, maka hal ini akan mengantar mereka pada tour ini.
Tour ini akan menjelajahi daerah pedalaman dari batin, daerah kesadaran dan nurani yang terdalam. Jika orang dapat masuk dan menjelajahi, ini akan membawanya pada demensi lain yang memberinya perasaan berbeda, yang selalu baru, segar, murni dan indah. Dengan demikian orang secara otomatis akan meninggalkan dan terpisah dari masalah-masalah dirinya, dan menjadi bebas tanpa beban apapun. Hal inilah sesungguhnya yang selalu menjadi dambaan dan dicari-cari oleh setiap insan dimuka bumi, namun kebanyakan orang tak pernah menemukan sehingga tak pernah bersamanya.
Pernahkah orang bertanya kepada diri sendiri, apakah sesungguhnya yang dicari, yang diinginkan? Tentulah orang tak’an bisa segera menjawab pertanyaan ini, bukan?
Nah, jika orang telah memegang tiket yaitu kemauan yang tulus dan jujur, marilah melangkah menuju gerbang Wisata Taman Hati. Begitu masuk hendaklah jangan berbicara atau ngobrol apapun, baik secara verbal maupun non verbal. Orang harus tenang, santai dan diam. Yang dibutuhkan hanyalah agar orang memperhatikan langkah demi langkah dalam setiap tindakannya. Yang ada hanyalah PERHATIAN. Untuk dapat memperhatikan, yaitu sungguh-sungguh memperhatikan, orang mestilah SANGAT diam.
Dalam perhatian yang sangat diam ini, kepekaan seseorang akan bertambah tajam. Dia akan melihat, mendengar, merasakan segala sesuatunya yang berada didalam maupun diluar dirinya. Diapun akan melihat badan dan hatinya yang gelisah. Dan diapun melihat pikirannya, yang terus bergerak resah, melompat-lompat bagaikan kuda liar. Dalam hal ini orang tak perlu berusaha untuk menjinakan agar pikirannya tenang. Namun yang diperlukan hanyalah perhatian. Orang hanyalah mengamati dan mengikuti setiap pikiran yang muncul silih berganti, jangan berusaha untuk mengendalikan. Karena pengendalian justru membuat sikuda liar “pikiran” memberi reaksi semakin kuat dan kuat.
Pikiran-pikiran ini merupakan file-file dari kenangan masa lalu, yang baik maupun yang buruk, yang positif maupun yang negatif. Orang tidak usah berkomentar apapun, artinya janganlah memberi penilaian, membenarkan ataupun menyalahkan, namun orang semata-mata hanya mengamati dengan tulus dan jujur. Barangkali salah satu pikiran adalah suatu hal yang buruk, pandanglah ia sebagaimana adanya. Janganlah memanipulasi, memutar balikan, merekayasa, dengan membenaran ataupun menyalahkan. Orang hanyalah menaruh perhatian, yaitu semata mengamati, itulah adanya. Hendaklah jangan merasa malu, menyesal atau bersedih. Demikian juga sebaliknya, jika satu pikiran atau hati adalah baik, janganlah berbangga dan sombong. Tataplah, pandanglah semuanya, seutuhnya “sang diri” seperti apa adanya.
Hal ini barangkali berlangsung lama dan berulang-ulang, pikiran-pikiran baik dan buruk datang dan pergi, akan sangat menggelisahkan, bisa berwujud monster-monster yang mengerikan, namun orang harus tetap mengamati dengan tulus dan diam. Sesungguhnya tak ada pikiran yang baik ataupun buruk, pikiran itu sendiri yang telah memberi label pada dirinya. Dan label ini telah memperkuat pikiran sidiri itu sendiri, sehingga dalam setiap tindakannya dia melibatkan komponen-komponen yang lainnya seperti perasaan maupun emosinya. Demikianlah pikiran akan merajut semakin banyak file-file didalam batin.
Bagaikan sebuah almari yang telah diisi penuh dengan segala macam barang, dia sudah tidak bermanfaat lagi, maka dari itu orang harus membersihkan atau membuang segala barang yang tidak berguna. Untuk hal ini orang harus mengamati seluruh bidang batin, sampai ketempat-tempat yang terdalam dan tersembunyi. Pengamatan yang terus menerus dengan kemauan yang tulus dan jujur akan membersihkan batin dari semua pikiran yang tak berguna itu. Pengamatan yang tulus dan jujur adalah pengamatan tanpa adanya rasa malu ataupun bangga, pengamatan yang tidak memihak, yang tidak menyembunyikan dan tidak mempertahankan.
Pengamatan seperti ini akan mendatangkan pemahaman; yaitu melihat betapa tak bergunanya almari yang penuh sesak oleh barang-barang, maka orangpun bertindak spontan, membuang semua rongsokkan busuk yang ada didalamnya, dan dengan demikian barulah almari itu akan bermanfaat. Pengamatan seperti ini akan memutuskan semua rantai masa lalu, yaitu semua masalah-masalah sang diri, dan diapun menjadi bukan apa-apa. Hanya dalam batin yang kosong ada kejernihan, ada keheningan, ada keindahan, ada kedamaian, ada kebenaran. Dengan demikian orang akan dilahirkan menjadi manusia baru, dan berada didalam dimensi yang berbeda. Jika orang berada dalam dimensi ini, tak satupun kata yang dapat menceritrakan keindahanNya. Untuk ini setiap orang harus menemukan bagi dirinya sendiri. Tak ada orang, guru, pendeta suci, organisasi, atau dewa sekalipun yang dapat memberikannya.
Orang harus datang ambil tiket dan ikut dalam Tour ini. Hanya dengan jalan inilah kemungkinan orang dapat menemukan. Karena itu orang harus mengambil tiket dan langsung masuk gerbang Wisata Taman Hati. Jika orang berjodoh, dia akan menemukan Sekuntum Bunga Nurani. Bunga ini selalu segar, indah, bersinar terang, dan menyebar wangi. Bunga ini akan membuat orang hidup selalu riang gembira dan hidup terasa berbeda, karena semua kecemasan, kebingungan, kebencian, ketakutan, kesedihan, penderitaan dan semua masalah-masalah mereka yang kerdil sirna.

Sejarah Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

AGAMA HINDU DI INDIA

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

AGAMA HINDU DI INDONESIA

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

Wednesday 26 May 2010

TIRTA YATRA / JHOTY YATRA INDIA




HARI 01 : DENPASAR – BANGKOK (Meal On Board)
Berkumpul di bandara Ngurah Rai 2 jam sebelum penerbangan ke New Delhi. Transit dan bermalam di Bangkok

HARI 02 : BANGKOK – DELHI - HARIDWAR (B/L/D)
Terbang ke Delhi dini hari langsung menuju Haridwar. Perjalanan ditempuh dalam waktu 9 jam dengan bus,selama perjalanan peserta dianjurkan mouna (hening)/berjapam (mengulang-ngulang nama tuhan). Makan siang di lokal restoran. Sore hari tiba di Haridwar, langsung menuju hotel untuk beristirahat.

HARI 03 : HARIDWAR – RISHIKESH – HARIDWAR (B/L/D)
Setelah sarapan pagi, Mandi suci di sungai Gangga. Selama mandi suci peserta diharapkan tenang. Setelah mandi suci, kita kembali ke hotel untuk makan siang, istirahat 1 jam, dilanjutkan menuju Rishikesh mengunjungi Siva Lingga Temple, Ram Jhoola, Laxman Jhoola, Swarga Ashram, lalu menyebrangi sungai Gangga menuju Sivananda Ashram. Dilanjutkan mengunjungi Manza Devi Temple dan mengikuti Aarthi Puja di sungai Gangga.

HARI 04 : HARIDWAR – AGRA – MATHURA
Setelah sarapan pagi, kita akan meninggalkan hotel untuk menuju Agra dan mengunjungi Taj Mahal (lambang keabadian cinta) yang juga merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Setelah makan siang di restoran setempat, kita akan melanjutkan perjalanan menuju Mathura, Kota kelahiran Krishna. Perjalanan ditempuh selama sembilan jam. Tiba malam hari dan beristirahat di Mathura. kita akan mengunjungi Janma Bhumi (tempat kelahiran Krishna).

HARI 05 : MATHURA – DELHI (B/L/D)
Setelah makan pagi, kita akan mengunjungi Janma Bhumi (tempat kelahiran Krishna). Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Delhi. Bermalam di Delhi.

HARI 06 : DELHI SIGHTSEEING - SHOPING (B/L/D)
Setelah makan pagi, kita akan mengunjungi Lotus Temple, Laksmi Narayan Temple, Purana Qila dan shoping. Setelah makan malam kita langsung menuju Airport untuk penerbangan kembali ke Denpasar Bali.

HARI 07 : DELHI – DENPASAR ( MEAL ON BOARD )
Tiba di Bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali. Semoga perjalanan suci ini membawa karunia bagi peserta yang telah terpanggil oleh Ibu Gangga. Semoga damai di hati, damai di Bumi, Om Santi, Santi, Santi, Om…

*CATATAN: Perjalanan tambahan ke kota wisata Jaipur, peserta hanya cukup menambah biaya sebesar USD $ 150.00,-/orang.

Harga paket Tour, satu kamar berdua *twin sharing hotel yang digunakan/setara:
New Delhi : Good Time hotel *3 • Haridwar : Alaknanda *3
• Mathura : Radha Ashok *3
USD $ 1.575,00-/orang (Minimum 20 orang)
Harga sudah termasuk :
• Tiket pesawat kelas ekonomi menggunakan Thai Airways (TG) dengan rute sbb;
Denpasar - xBangkok – Delhi – xBangkok – Denpasar
• YQ tax internasional & Fuel Surcharge
(sewaktu-waktu dapat berubah pada saat pembukuan tiket)
• Airport Tax International Departure Airport Ngurah Rai
• Akomodasi sesuai jadwal perjalanan
• Makan pagi, Makan siang & Makan malam setiap hari sesuai jadwal perjalanan (Vegetarian Food Khusus Haridwar - Rishikes)
• Transportasi Full Air Conditioned
• Penjemputan dari Airport – Hotel – Airport
• Tiket masuk obyek wisata (Kamera tidak termasuk)
• Guide lokal berbahasa Inggris
• 1 Botol Air Mineral per orang per hari
Harga tidak termasuk :
• Fiskal, Rp. 0 apabila mempunyai NPWP
• Visa masuk India Rp. 650.000,-/orang
• Tip Driver, Guide, dan Porter Hotel
• Asuransi perjalanan berkisar senilai USD $ 25 - 75
• Biaya Laundry, telephone dan biaya pengeluaran pribadi lainnya.